ASSALAMU'ALAIKUM....

SUGENG RAWUH...

Monday, November 15, 2010

KDRT VS MU"ASYARAH BIL MA"RUF

KDRT Versus Mu’asyarah bil Ma’ruf
Oleh : Ali Trigiyatno

Mencengangkan sekaligus memprihatinkan apa yang dipaparkan oleh  Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan pada tahun 2000. Menurut laporan ini,  11,4 % perempuan Indonesia atau sekitar  24 juta pernah mengalami  tindak kekerasan. Anehnya lagi, kekerasan itu lebih didominasi kekerasan dalam rumah tangga atau yang lazim disingkat dengan KDRT. Bentuk-bentuk kekerasan yang sering dialami berupa  penganiayaan, perkosaan, peecehan dan juga perselingkuhan. ( Musdah Mulia : 2004: 154) Lebih memprihatinkan lagi data yang disampaikan oleh LSM Kalyanamitra, bahwa menurut penelitiannya setiap lima jam sekali terjadi satu kasus perkosaan. ( Hadijah & Lakama :2007 : 16)
Kekerasan (violence) apapun bentuknya, siapapun  pelakunya, ditujukan kepada siapa saja merupakan perbuatan tercela yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, hukum, etika, norma juga agama. Tidak ada satupun ajaran agama yang membenarkan apalagi menyuruh pemeluknya untuk melakukan kekerasan. Oleh karenanya ia harus dicegah dan dihindari agar tidak memakan korban dan merugikan orang lain.
Saat ini, kekerasan dengan beragam bentuknya sering dan mudah terjadi di mana-mana sampai –sampai dalam wilayah rumah tangga. Anak, isteri, pembantu atau siapa saja dapat menjadi korban tindak kekerasan. Terasa ironis memang, rumah yang dalam bahasa Arab disebut maskan yang secara harfiah berarti tempat kedamaian atau ketenangan seharusnya menjadi tempat yang aman, nyaman dan membuat kerasan penghuninya, terkadang malah menjadi ajang kekerasan dan penyiksaan yang mengerikan. Suami yang mestinya bisa ‘ngayomi’, ngayemi’ dan ‘ngayani’ terkadang malah menjadi monster yang kejam yang mudah melayangkan tangannya menyakiti maupun memukuli isterinya, anaknya, pembantunya atau siapa saja yang tinggal di rumah itu.
Sayangnya, kekerasan yang sering terjadi ini  kurang mendapatkan perhatian dan penanganan yang wajar dan proporsional. Kekerasan dalam rumah tangga ( domestic violence) masih sering dianggap sebagai persoalan yang lumrah dan biasa. Suami memukul(i) isteri merupakan suatu “hak” yang bisa dimengerti sebagai suatu cara untuk ‘mendidik’ isterinya yang dianggap tidak benar. Disamping itu, KDRT juga dianggap sebagai persoalan ‘dalam negeri’ seseorang yang pantang dicampuri oleh orang lain (pihak ketiga). Masyarakat seolah membiarkan saja persoalan ini dengan tidak mau ikut campur tangan dan berharap agar pasangan tersebut dapat mengatasinya sendiri.
 Dalam perkembangannya, ternyata kekerasan ini tidak bisa dianggap hanya sebagai persoalan ‘dalam negeri’ rumah tangga seseorang begitu saja. Karena dalam kenyataannya akibat dari tindak kekerasan ini dirasakan jelas-jelas sangat merugikan dan dapat mencelakakan pihak korban terutama kaum wanita dan anak-anak. Para korban ini sudah seharusnya mendapatkan perlindungan dan pertolongan yang semestinya dari tindak kesewenang-wenangan suami.
Akhirnya para aktifis perempuan, LSM, dan berbagai pihak yang concern dengan nasib kaum perempuan dengan gigih mengusulkan agar dibuat sebuah UU yang dapat mencegah atau syukur dapat menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Ternyata usaha keras tersebut mendapatkan respon cukup positif dari pemerintah  dan DPR terbukti dengan disetujuinya untuk disahkan RUU Penghapusan KDRT tersebut menjadi UU pada tanggal 14 September 2004. Lebih lanjut RUU tersebut disahkan menjadi UU pada tanggal 22 September 2004 dalam LN Nomor 95.

Prinsip Mu’asyarah bil Ma’ruf

Kekerasan apapun bentuknya, dilakukan siapapun dan kepada siapapun jelas-jelas bertentangan dengan prinsip mu’asyarah bil ma’ruf, yakni prinsip pergaulan hidup berumah tangga dengan pergaulan yang pantas, patut, wajar dan baik sebagaimana yang dipraktekkan orang pada lazimnya. Al-Qur’an secara gamblang memerintahkan orang beriman agar memperlakukan dan mempergauli isteri secara ma’ruf sebagaimana dinyatakan “ Wa ‘asyiruhunna bil ma’ruf” ( dan pergaulilah isterimu dengan cara yang ma’ruf ( an-Nisa’: 19)
Bagaimana serta apa yang dimaksud dengan mu’asyarah bil ma’ruf itu ? Kata ma’ruf secara harfiah, seperti dijelaskan oleh seorang pakar bahasa al-Qur’an Ar-Raghib al-Isfahani dalam Mu’jam Mufradat sebagai ungkapan  terhadap sesuatu yang diketahui oleh akal dan syara’ sebagai sesuatu yang baik dan patut. Sedang bentuknya menurut al-Qasimi dalam tafsirnya Mahasinut Ta’wil yakni bergaul dengan isteri secara luwes, patut, lembut, baik dalam perkataan maupun tindakan. Sedang as-Suyuti lebih tegas menyatakan dalam al-Iklil bahwa seorang suami wajib berbuat ma’ruf seperti melunasi mahar, memberikan nafkah, adil dalam pembagian giliran, lembut dalam ucapan, tidak melakukan kekerasan (pukulan) ataupun bersikap kasar tanpa sebab. Senada dengan itu, Ibnu Katsir dalam tafsir al-Qur'an al-'Azhim  menjelaskannnya dengan " Ucapkan perkataan yang baik, pergauli secara pantas, maniskan penampilan menurut kemampuanmu sebagaimana kamupun ingin isterimu memperlakukanmu seperti itu ".  
Sementara itu Wahbah az-Zuhaily pakar tafsir dan fiqh kontemporer dari Syria menjelaskan dalam al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, bahwa mu’asyarah bil ma’ruf berarti suami mempergauli isterinya secara wajar, tidak menyakiti, tidak menghalangi hak-hak isterinya selagi ia mampu untuk itu, tidak menampakkan kebencian dan permusuhan di hadapan isterinya serta tidak mengungkit-ungkit kebaikannya. Sedang Maulana Muhammad Ali dalam The Holy Qur’an menjelaskan sebagai pergaulan yang dilandasi oleh prinsip dan semangat kebaikan hati, keadilan dan kepatutan ( Live with them on a footing of  kindnesas and equity)
Singkatnya, mu’asyarah bil-ma’ruf adalah prinsip dalam pergaulan rumah tangga dimana seorang suami dalam bergaul atau memperlakukan isterinya dilandasi asas atau prinsip kepatutan, kebaikan dan kewajaran dipandang dari sudut akal sehat (common sense) dan syara’ serta pandangan masyarakat (opini publik) pada umumnya. Jadi paling kurang ia harus mengukur tindakan dan ucapannya apakah selaras dengan tuntunan syara’, akal sehat maupun pandangan masyarakat dimana ia tinggal pada lazimnya. Jika telah selaras dan sesuai dengan tiga ukuran tersebut, maka sudah dapat dikategorikan sebagai orang yang telah melakukan pergaulan yang ma’ruf. Aspek-aspek yang harus dilakukan secara ma'ruf mencakup aspek ucapan yakni dengan ucapan yang lemah-lembut, tidak kasar dan menyakiti, aspek perbuatan dengan tidak memukul atau menganiaya (ringan tangan), dan aspek penampilan seperti menjaga penampilan dengan berhias dan berdandan secara wajar dan proporsional.
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya, baik kekerasan fisik, psikis, ekonomi maupun seksual, dipandang dari tiga ukuran di atas jelas –jelas merupakan tindakan munkar (evil deeds), yakni tindakan yang diingkari dan ditolak oleh syara’, akal sehat maupun opini publik masyarakat. Oleh karena itu sudah semestinya harus dicegah dan kalau memungkinkan dihapuskan agar segala bentuk kekerasan dapat hilang dan berganti dengan kehidupan rumah tangga yang tegak di atas pilar mawaddah (love) (saling mencintai) wa rahmah (mercy) (saling berkasih sayang), musawah (equality) (persamaan), syura (deliberation) (musyawarah). Dengan tegaknya prinsip-prinsip ini dalam rumah tangga, maka kekerasan dalam rumah tangga dapat dicegah dan dihindari, serta kehidupan yang harmonis dan tenteram akan mudah didapatkan.
Untuk mencegah maupun mengurangi tindak kekerasan tidak cukup hanya melalui himbaun-himbauan moral saja seperti melalui khotbah maupun ceramah, namun perlu melalui payung hukum berupa UU yang mempunyai kekuatan hukum lebih pasti dan mengikat semua warga negara dengan sanksi yang tegas, jelas dan memaksa. Ajaran moral maupun etika tetap diperlukan dan penting agar orang memiliki kesadaran untuk berbuat yang baik dan menghindari kekerasan sampai pada ranah keluarga. Namun demikian,  agar lebih efektif juga harus diback up dengan hukum positif yang mengikat semua warga negara,, serta aparat penegak hukum yang tegas dan konsisten dalam menjalankan tugasnya.
Syukurlah, sekarang ini sudah ada payung hukum UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA yang disahkan pada tanggal 22 September 2004 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 95. Undang-undang ini memberikan secercah harapan agar KDRT yang selama ini jumlahnya cukup rtinggi dapat terhapuskan atau sekurangnya terkurangi. Sedang efektifitasnya juga ditentukan oleh komitmen para penegak hukum dan sikap masyarakat menyangkut kesadaran hukumnya.
Alhasil, rumah tangga yang yang berdiri di atas landasan kekerasan akan sulit dalam rangka menciptakan keluarga yang bahagia dan tenteram, sementara rumah tangga yang diliputi pergaulan yang ma’ruf, Insya Allah  akan mudah menggapai kehidupan yang sakinah, harmonis dan bahagia. Bukankah kita semua menginginkan hidup yang bahagia? So, jangan lupa STOP Kekerasan sekarang juga !!!.

Penulis adalah Dosen STAIN Pekalongan dan


No comments:

Post a Comment