ASSALAMU'ALAIKUM....

SUGENG RAWUH...

Friday, October 29, 2010



PENYELESAIAN PROBLEMATIKA SYIQAQ  MENURUT HUKUM ISLAM

Oleh: Ali Trigiyatno
Abstrak
Pernikahan dalam Islam dimaksudkan untuk membina keluarga yang sakinah, mawaddah dan penuh rahmah kekal buat selama-lamanya. Maka dari itu, segala sesuatu yang dapat mengganggu apalagi menggagalkan tujuan mulia tersebut sedini mungkin Islam telah mengantisipasinya dengan sejumlah petunjuk dan langkah-langkah penyelesaiannya. Salah satu faktor yang potensial mengganggu atau bahkan dapat menggagalkan tujuan berumah tangga adalah adanya nusyuz ( disloyalty and ill-conduct) dan puncaknya syiqaq  ( breach).
Nusyuz baik itu yang dilakukan oleh suami, isteri maupun dilakukan kedua-duanya  yang disebut syiqaq oleh al-Qur'an telah ditetapkan terapinya. Terapi syiqaq  berupa diutusnya dua orang hakam yang berasal dari masing-masing keluarga ataupun diambil dari orang lain yang mampu dan cakap buat itu. Tugas utama hakam itu adalah mengusahakan ishlah atau perdamaian ( reconciliation) antara suami isteri yang cekcok itu. Namun jika upaya maksimal itu tidak berhasil, dan keduanya memandang bahwa perceraian adalah jalan terbaik, maka hakam dapat merekomendasikan buat diceraikan.  Di Indonesia berdasarkan PP Nomor 9 Tahun 1975 pasal 19, perceraian dimungkinkan terjadi dengan alasan terjadinya syiqaq antara suami isteri yang sudah tidak dapat didamaikan lagi.
Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan tentang nusyuz maupun syiqaq, tampak jelas bahwa ajaran Islam menghendaki adanya keharmonisan, kerukunan dan keutuhan serta kelangsungan rumah tangga.  Sungguhpun demikian, kemungkinan untuk berpisah atau bercerai tetap dibuka sepanjang kemaslahatan yang lebih besar dapat dicapai melalui jalan itu sebagai langkah terakhir setelah upaya ishlah tidak berhasil dilakukakan.

Kata Kunci
Syiqaq, hakam, dharar, ishlah, nusyuz, thalaq
Pendahuluan
Mencari dan mendapatkan   kedamaian, ketenangan dan kebahagiaan adalah dambaan setiap insan yang memasuki pintu pernikahan. Maka berbagai persiapan dan kesiapan pun ditata untuk menyongsong makhluk bernama ‘kebahagiaan’ itu. Namun kenyataan di lapangan tidak selalu segaris dengan keinginan dan cita-cita setiap pasangan tersebut. Terkadang banyak aral maupun kerikil tajam yang menjadi sandungan dalam menuju tujuan luhur di atas. Jangankan bahagia, terkadang malahan percekcokan dan permusuhan yang berujung penderitaan yang kadang di dapat. Na'udzubillah!!!.
Penyebab datangnya percekcokan dalam rumah tangga dapat berasal dari pihak laki-laki (suami)[1], juga dapat berasal dari pihak perempuan (isteri)[2] atau bisa juga berasal atau muncul dari kedua belah pihak[3]. Jika tak segera diatasi, akibat yang lebih buruk dan fatal dapat mengakibatkan tali perkawinan menjadi putus dan keluarga berantakan tak terkecuali anak-anak jika pasangan itu telah dikaruniai anak.
Dalam menghadapi situasi rumah tangga yang selalu diliputi percekcokan dan permusuhan terus-menerus ini atau dalam bahasa fiqhnya disebut syiqaq, syari’at Islam tidaklah tinggal diam. Ia menyiapkan sejumlah aturan, petunjuk dan arahan guna mengatasi dan menghadapi persoalan tersebut. Al-Qur'an yang menyatakan diri sebagai hudan lin nas telah menetapkan sejumlah aturan main yang jika diikuti dan ditaati Insya Allah dapat menyelesaikan persoalan tersebut. Dalam kitab suci al-Qur’an secara gamblang petunjuk ini dapat diketahui dan dibaca dalam surat an-Nisa’ ayat  35.
Sebelum membaha terapi syiqaq, perlu dibahas sedikit tentang nusyuz dan konsekwensinya, karena ia biasanya terjadi sebelum adanya syiqaq. Nusyuz pada dasarnya adalah sikap suatu pasangan yang tidak menghormati dan menghargai hak-hak pasangannya yang timbul dari rasa sombong dan tinggi hati, sehingga pasangannya merasa diabaikan dan tidak dipedulikan yang akan berakibat retaknya keutuhan rumah tangga. Nusyuz dapat dilakukan suami, isteri atau bahkan kedua-duanya. Nusyuz yang dilakukan baik oleh isteri terhadap suami, atau suami terhadap isteri atau yang timbul dari kedua-duanya, akan menimbulkan akibat-akibat hukum selanjutnya yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
A.  Konsekwensi Isteri yang Nusyuz
Ketika isteri melakukan nusyuz dan masih tetap dalam nusyuznya, maka dalam hukum Islam ia akan  mendapatkan konsekwensi atau akibat nusyuzya itu sebagai berikut :
1. Suami wajib memberikan nasihat atau peringatan agar kembali taat dan menyadari kesalahannya, lalu jika ia masih bandel ditempuh langkah kedua berupa pisah ranjang, dan jika masih belum berubah juga maka langkah terakhir  terakhir dengan "memukulnya" dengan tujuan buat  mendidiknya.[4]
2. Suami boleh[5] tidak memberikan nafkah dan meninggalkan qasam (giliran). [6] Dengan kalimat lain, isteri tidak berhak lagi mendapatkan nafkah dan jatah giliran (jika dipoligami) dari suaminya.
Demikianlah paling kurang akibat hukum yang harus diterima isteri jika ia melakukan nusyuz. Dengan sendirinya jika nusyuz itu sudah hilang atau berhenti, maka akibat itu dengan sendirinya juga hilang.
B.   Konsekwensi Suami yang Nusyuz
Sebagaimana terjadi pada isteri yang mendapatkan akibat-akibat hukum dari nusyuznya, maka suami yang melakukan nusyuz dalam hukum Islam  dikenakan akibat-akibat berupa :
1.      Oleh hakim ia dapat dipaksa untuk tetap menyediakan nafkah, pakaian dan    tempat tinggal buat isterinya (keluarga).[7]
2.      Hakim dapat memerintahkan (memaksa) suami  supaya berbuat baik terhadap isterinya,[8] dan jika ia membandel, hakim dapat menjatuhkan hukuman ta’zir.[9]
Demikianlah akibat-akibat hukum yang dapat dijatuhkan kepada suami yang melakukan nusyuz terhadap isterinya. Untuk meluruskan sikap nusyuznya, seorang suami memerlukan campur tangan pihak ketiga ( hakim/pengadilan), sedang untuk menangani isteri yang nusyuz, cukup suami sendiri yang menyelesaikannya.

C.   Akibat Nusyuz suami-isteri (syiqaq)

Jika dalam sebuah keluarga terjadi percekcokan dan perselisihan yang terus-menerus yang timbul dari masing-masing suami isteri, atau tidak secara jelas diketahui dari  mana yang memulai timbulnya keretakan itu, maka akibat-akibat hukumnya dapat dijelaskan  sebagai berikut :
1. Diutusnya dua orang hakam ( arbiter)
Dasar perintah diutusnya dua orang hakam ketika terjadinya syiqaq adalah QS. an-Nisa’ ayat 35 yang berbunyi :
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yƒÌãƒ $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz ÇÌÎÈ  

" Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud engadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal."

a. Pengertian Hakam
Secara etimologis al-hukmu berarti al-man’u (yang mencegah) yakni yang mencegah dari kezaliman.[10] Sedang Ibrahim Anis menjelaskan hakam sebagai orang yang dipilih untuk memutus perkara diantara dua orang yang berperkara.[11] Sedang at-tahkim berarti menjatuhkan hukum. Ar-Raghib menerangkan hakam pada asalnya berarti mencegah dengann sebenar-benarnya untuk memperbaiki.
Dalam konteks ayat yang memerintahkan mengirim hakam( arbiter), dengan disebutnya kata hakam dan bukan hakim sebagai peringatan bahwa syarat hakam adalah harus ada penyerahan wewenang kepada mereka dan bagi mereka hanya cukup menjalankan apa yang diserahkan pada mereka dalam memutuskan perkara. [12] Sedang Deeb al-Khudhrami menjelaskan hakam dengan “ an arbitrator appointed by a judge to settle a disputes” ( seorang wasit yang diangkat atau ditunjuk oleh hakim untuk meyelesaikan suatu pertengkaran ) [13]
Adapun hakam dalam konteks ayat ini, menurut Abu Hayyan adalah orang yang cakap untuk mengadili di antara manusia dan mendamaikannya.[14] Sementara al-Qasimi mendefinisikannya dengan: Seorang laki-laki yang saleh untuk mengadili dan mendamaikan serta mencegah kezaliman dari suatu kezaliman.[15] Sedang al-Alusi menjelaskan pengertian hakam sebagai seorang laki-laki yang adil yang arif, baik strategi dan pandangannya dalam menghasilkan suatu maslahah.[16] Di lain pihak, Al-Wahidi menjelaskan hakam  berarti hakim yakni yang mencegah seseorang dari berbuat dhalim.[17]
b. Syarat-Syarat Dua Hakam
Menurut Wahbah az-Zuhaily, bagi dua orang hakam itu dipersyaratkan  harus merdeka, muslim, adil, mukallaf, faqih, alim (ahli dalam mendamaikan).[18] Kedua hakam itu diutamakan diambilkan dari keluarga laki-laki dan perempuan (suami-isteri) namun jika tidak memungkinkan tidak mengapa jika diambilkan dari luar keluarga mereka yang penting mereka mampu menjadi ‘juru damai’ kedua pasangan itu.[19]
c. Hukum Mengutus Dua Hakam
Jika terjadi syiqaq yang terus-menerus dan kedaan rumah tangga di ambang kehancuran dan perpecahan, maka para ulama sepakat wajib hukumnya mengutus dua orang hakam.[20] Dua orang hakam ini hendaknya berasal dari pihak keluarga laki-laki dan perempuan. Namun ini tidak bersifat mutlak, karena bisa saja hakam itu diambil dari pihak luar asal memiliki kemampuan  dan komitmen untuk mendamaikan dua orang suami-isteri yang cekcok itu. [21]
Imam asy-Syafi’I termasuk ulama yang  mewajibkan pengiriman dua hakam, karena ini termasuk dalam rangka menolak kemadharatan dan kezhaliman yang termasuk fardhu ‘ain lebih-lebih bagi qadhi.[22] Tak berbeda dengan Imam asy-Syafi'I, menurut penuturan Wahbah az-Zuhaily, berdasar amar pada ayat fab’atsu, maka hukum mengutus hakam adalah wajib. Namun demikian,  di kalangan ulama ada juga yang memahami perintah tersebut sebagai  mandub.[23]
Adapun khitab ayat tersebut menurut al-Wahidi ditujukan kepada sulthan atau penguasa atau pejabat yang ditunjuk untuk hal itu setelah mendapat laporan atau pengaduan dari kedua pasangan yang cekcok itu.[24] Sebagian ulama berpendapat bahwa yang wajib mengutus hakam ini adalah salah seorang yang shalih dari umat Islam ini, jadi lebih umum sifatnya. [25]
d. Tugas dan misi hakam
Tugas dan misi utama dari hakam adalah menyelidiki sebab-sebab timbulnya perselisihan lantas berusaha sekuat tenaga untuk mendamaikan dan mencarikan solusi terbaik bagi kedua pasangan itu, agar rumah tangga itu kembali harmonis, damai, aman dan tenteram seperti semula.[26] Tugas yang mulia ini hendaknya dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan penuh keikhlasan guna mencari jalan terbaik bagi keduanya.
e. Wewenang hakam
Sampai sejauh mana hakam memiliki wewenang dalam usahanya untuk mendamaikan atau mengurusi dua orang suami-isteri yang berselisih itu?. Di kalangan ulama baik ulama ahli tafsir maupun ahli fiqih paling kurang ada dua pendapat dalam persoalan ini.
1. Pendapat yang mengatakan bahwa hakam memiliki wewenang penuh seperti hakim yang dapat mendamaikan (menyatukan ) dan sekaligus juga dapat menceraikan ( tafriq)  walau tanpa seizin kedua pasangan itu. Menurut Abu Hayyan ini adalah qaul Imam Malik, al-Auza’i, Ishaq, Abu Tsaur, dan diriwayatkan juga menjadi fatwa Usman, Ali, Ibnu Abbas, asy-Sya’bi, an-Nakha’i, Mujahid, Abu Salamah dan Thawus. Imam Malik berkata,           ” Apabila dua orang hakam itu memandang keduanya lebih baik  diceraikan, maka keduanya diceraikan, sama saja apakah hal itu sesuai dengan madzhab qadhi mengenai itu atau tidak, mewakilkan kepadanya atau tidak dan cerai itu termasuk cerai ba’in".[27]
2. Sebagian ulama berpendapat bahwa wewenang hakam hanya sebatas “wakil” dari suami-isteri itu yang hanya diberi wewenang untuk mendamaikan saja dan tidak lebih dari itu. Ia tidak berhak menceraikan kecuali kalau itu mendapat persetujuan dari keduanya. Menurut Ibnu Katsir ini adalah qaul Qatadah, Hasan al-Basri, Zaid bin Aslam, juga pendapat Imam Ahmad dan Dawud azh-Zhahiri.[28]
Ibnu katsir sendiri menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa hakam memiliki wewenang penuh seperti hakim yang dapat mendamaikan (menyatukan) sekaligus menceraikan kedua pasangan suami-isteri jika memang dianggap perlu. Sementara Imam asy-Syafi’i dan Imam Abu Hanifah mensyaratkan agar tidak terjadi keragu-raguan, agar kedua pasangan itu benar-benar menyerahkan urusannya secara penuh baik untuk mendamaikan maupun menceraikan dan keduanya akan menaati segala putusan tersebut.[29]
2  Diceraikan
Seperti telah dipaparkan di atas, akibat terjadinya syiqaq terus menerus maka sulthan atau pejabat yang ditunjuk wajib mengutus dua orang hakam dengan misi utama mendamaikan kedua pasangan itu. Namun jika hal itu tidak memungkinkan untuk disatukan kembali maka menurut jumhur ulama, hakam dapat menceraikan keduanya.[30] Diceraikan ini merupakan konsekwensi dari syiqaq yang tidak dapat diselesaikan atau didamaikan oleh hakam dan ketika hakam memandang bahwa yang terbaik bagi keduanya adalah dengan jalan perceraian.
Isyarat kebolehan perceraian ini dapat dibaca dalam firman Allah dalam surat an-Nisa’ (4) ayat 130 yang bunyi teksnya :
bÎ)ur $s%§xÿtGtƒ Ç`øóムª!$# yxà2 `ÏiB ¾ÏmÏGyèy 4 tb%x.ur ª!$# $·èźur $VJŠÅ3ym ÇÊÌÉÈ  

 “Dan jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya, Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.”

Al-Qurtubi menjelaskan, jika keduanya tidak bisa didamaikan lagi dan memilih  untuk bercerai, hendaknya keduanya husnuz zhan kepada Allah, karena terkadang Allah menakdirkan seorang pria mendapatkan ganti isteri yang lebih  menyenangkan hatinya, dan mengantikan bagi isteri seorang suami yang mampu melindungi dan mencukupinya. Sehubungan dengan ini, diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad bahwa ada seorang laki-laki melaporkan keadaannya yang miskin kepadanya, maka Ja’far menyuruhnya untuk menikah. Lain waktu ia lapor lagi bahwa ia masih tetap miskin, lantas Ja’far menyuruhnya  untuk bercerai. Maka ia ditanya tentang sikapnya yang dirasakan aneh ini. Ja'far akhirnya menjelaskan,” Aku menyuruhmu menikah barangkali kamu termasuk ahli ayat ini ;

إن يكونوا فقراء يغنهم الله من فضله

“ Jika kamu miskin maka Allah akan mencukupimu dengan karuniaNya”.[31]

Maka ketika kamu masih tetap miskin, aku menyuruhmu bercerai barangkali kamu termasuk ahli ayat ini :

وإن يتفرقا يغن الله كلا من سعته

“ Jika kamu bercerai, Allah akan mencukupi masing-masing kamu dari karuniaNya yang luas.[32]
Demikianlah ketentuan Allah yang Maha Bijaksana, pernikahan maupun perceraian sama-sama dijanjikan "kecukupan", walaupun perceraian itu sendiri sebaiknya diulur dan ditunda dan sedapat mungkin dihindari. Namun jika terpaksanya harus terjadi, maka tetap harus dilakukan dengan cara yang ihsan sebagaimana dinyatakan-Nya dalam QS al-Baqarah (2) ayat 229 :
ß,»n=©Ü9$# Èb$s?§sD ( 88$|¡øBÎ*sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& 7xƒÎŽô£s? 9`»|¡ômÎ*Î/ 3
"Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik."

Lebih jauh Wahbah az-Zuhaily menjelaskan, perceraian adalah jalan terakhir ketika segala usaha untuk mendamaikan tidak tercapai. Dan Allah mengembirakan masing-masing dengan menjanjikan kekayaan dan kecukupan. Kedua-duanya hendaknya husnuz zan kepada Allah, karena terkadang ِAllah menggantikan bagi seorang suami isteri yang membahagiakannya dan bagi isteri ganti seorang suami yang mencukupinya.[33]
Kemudian ayat itu ditutup dengan bahwasanya Allah itu Maha Kaya, mencukupi segala keperluan makhluk-Nya, Maha Bijaksana dalam tindakannya dan hukum-hukumnya. Ini adalah nas yang terang bahwa Allah adalah sumber rizki, kekayaan dan kelapangan, dan Dia menjamin rizqi makhluk-Nya dan bahwasanya hikmah-Nya itu tinggi pada segala ciptaan dan makhluk-Nya dalam hukum dan perundang-undangan dalam pemeliharaan dan pembalasan.[34]
Dari paparan tersebut kiranya jelas bahwa perceraian suami isteri dimungkinkan terjadi bagi pasangan  yang timbul syiqaq atau cekcok yang tidak berhasil atau dapat dirukunkandan didamaikan kembali.
Seterusnya untuk melengkapi pembahasan ini, akan dipaparkan perceraian akibat syiqaq dalam pandangan ulama fiqih khususnya dalam pandangan madzhab yang empat.
2.1. Perceraian sebab syiqaq dalam fiqih
Bila di atas telah dijelaskan dimungkinkannya perceraian dengan alasan syiqaq dan atau dharar menurut penjelasan ulama-ulama tafsir, maka untuk menambah penjelasan, akan dipaparkan pandangan ulama fiqih terhadap perceraian yang disebabkan syiqaq ini.
      a. Menurut Madzhab Hanafi              
Isteri tidak diperbolehkan meminta fasakh nikah jika suaminya menyakiti dengan pukulan dan sejenisnya, tidak adil dalam pembagian antara dia dan madunya. Namun ia dibolehkan melaporkan atau mengadukan keadaan yang dideritanya ini kepada hakim. Jika  laporan atau pengaduannya ini terbukti, suami dapat dijatuhi hukuman ta’zir, atau hakim akan menegurnya, atau memerintahkan suami agar berbuat lembut dan baik pada isterinya. Jika nuysuz suami terus berlangsung, hakim dapat menjatuhkan hukuman yang menurutnya sesuai, namun ia tidak boleh dipenjara jika isi laporan itu berkaitan masalah ketidak-adilan dalam pembagian giliran. Pendapat madzhab Hanafi pada dasarnya sama dengan pendapat Madzhab Hanbali, Ja’fari, Zaidi dan Zhahiri.[35]
        b. Madzhab Maliki
Madzhab Maliki adalah madzhab yang paling jelas memberikan kebolehan dalam soal perceraian lantaran adanya syiqaq ini. Jika suami membahayakan isteri (melakukan dharar) berupa kata-kata kotor atau pukulan yang menyakiti atau meninggalkannya tanpa sebab, atau ia menyuruh isterinya melakukan sesuatu yang haram, atau lebih mementingkan isterinya yang lain, atau tidak mau menjenguk orang tuanya, atau merampas hartanya atau selain itu yang pokoknya menzhalimi, menyakiti atau membahayakan isteri. Jika suami melakukan itu dan isteri tidak terima dengan perlakuan ini lantas ia melapor pada hakim dan ia mampu membuktikan dakwaannya itu (menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab ini) lantas isteri menuntut cerai, maka hakim dapat menceraikannya dengan talak satu ba’in karena bersandar pada hadis :

لا ضرر ولا ضرار

“Tidak boleh membahayakan dan tidak terkena bahaya”[36]
      c. Madzhab Syafi’i
Golongan Syafi’iyah berpendapat bahwa dharar atau syiqaq atau buruk perlakuan kadang timbul dari pihak isteri sendiri, atau suami saja atau kedua-duanya. Jika sebab itu muncul dari pihak isteri, suami harus mendidik dan menasihati isteri dengan sebaik-baiknya.  Sampai di sini pendapat madzhab Syafi’i sama dengan Hanafiyah.
Jika hal itu timbul dari pihak suami seperti buruk dalam perlakuan dan berakibat dharar, maka isteri boleh melapor ke hakim. Jika laporan itu terbukti, hakim dapat melarang suami namun tidak dijatuhi ta’zir pada kasus yang pertama kali. Jika laporan terjadi lagi dan terbukti, hakim dapat menghukumnya dengan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Jika syiqaq dan darar datang dari keduanya, misalnya suami menuduh isterinya tidak taat kepadanya, dan isteri menuduh suaminya memperlakukan buruk dan menyakitinya, hakim wajib mengutus dua orang hakam atas dasar firman Allah surat an-Nisa’ ayat 35.[37]
Dari pemaparan pendapat ulama madzhab di atas kiranya terlihat jelas bahwa madzhab yang secara eksplisit membolehkan perceraian dengan alasan syiqaq atau dharar adalah madzhab Maliki. Sedang tiga madzhab yakni Hanafi, Syafi’i dan Hanbali tidak menghendaki perceraian sebagai jalan penyelesaian terjadinya syiqaq atau dharar dalam hubungan suami-isteri namun lebih menekankan perlunya perbaikan dan penyadaran serta perdamaian. Menurut ketiga madzhab tersebut, syiqaq bisa dihilangkan tidak mesti lewat perceraian, tetapi cukup dilaporkan ke pengadilan atau hakim, dan hakim dapat mendidik dan mengatur agar kehidupan suami-isteri itu normal kembali.[38]
Menurut hemat penulis, menutup kebolehan perceraian bagi pasangan suami-isteri yang sering cekcok dan terus menerus dalam permusuhan, serta tidak ada harapan untuk rukun kembali sama saja dengan menyimpan bara api yang sewaktu-waktu dapat membakar isi rumah itu. Bukankah perkawinan yang selalu diwarnai keributan dan percekcokan sudah tidak  sesuai lagi  dengan tujuan perkawinan itu sendiri?. Maka dari itu pendapat yang lebih maslahat dan mendekati kebenaran ( Insya Allah) adalah pendapat madzhab Maliki, selain lebih realistis dan mendekati maslahat juga lebih sesuai dengan isyarat yang diberikan al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 130, yang membolehkan perceraian. Tak hanya itu, bahkan   Allah  menjanjikan masing-masing akan mendapatkan kecukupan yang dalam penjelasan ulama tafsir berarti akan mendapatkan ganti suami atau isteri  yang lebih pas dan cocok.
Dalam konteks hukum positif di Indonesia, syiqaq atau perselisihan dan percekcokan yang serius dan terus menerus antara suami isteri adalah termasuk salah satu alasan perceraian yang diakui sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975  pasal 19 yang berbunyi :
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan  lain sebagainya yang sukara disembuhkan.
b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 ( dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 ( lima ) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f.        Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.[39]
Dengan mencermati rumusan tersebut, kiranya hukum positif di Indonesia membuka celah terjadinya perceraian dengan alasan syiqaq ataupun karena adanya dharar ( salah satu pihak melakukan tindakan yang membahayakan dan merugikan pasangannya).
Penutup
Pernikahan dalam Islam dimaksudkan untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal abadi untuk selama-lamanya. Hal-hal yang dapat menggagalkan tercapainya tujuan tersebut sedini mungkin telah diantisipasi dengan sebaik-baiknya. Namun sungguhpun demikian, ajaran Islam juga cukup realistis dengan tidak menutup rapat-rapat kemungkinan terjadinya perceraian sebagaimana ajaran agama Katholik jika memang ada alasan yang cukup kuat untuk melakukan itu.
Nusyuz merupakan salah satu alasan atau penyebab dapat diakhirinya sebuah perkawinan apalagi jika sudah menjurus pada terjadinya syiqaq. Syiqaq yang tidak dapat diselesaikan oleh hakam dengan baik pada ujungnya dapat diakhiri dengan perceraian. Karena mempertahankan perkawinan yang sudah retak apalagi pecah dan dipandang sudah tidak ada harapan untuk direkatkan dan disatukan kembali hanya akan memperpanjang dharar bagi salah satu pihak atau bahkan keduanya, walau harus diakui pula bahwa perceraian itu sendiri membawa konsekuensi menimbulkan madharat lain pula. Namun kaidah fiqh mengajarkan agar menempuh madharat yang lebih kecil atau ringan dapat dilakukan atau ditempuh jika ada dua madharat yang berhadapan di mana kita harus menghadapi dan memilihnya.
Menilik dan memperhatikan ayat-ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan perceraian, penulis tidak menangkap kesan adanya 'celaan' apalagi larangan berkait dengan perceraian. Namun memang ada isyarat maupun kesan al-Qur'an memperlambat atau mempersulit perceraian seperti disyari'atkan adanya  talak satu, dua dan tiga. Hal ini jelas mengajarkan agar dalam persoalan cerai jangan dilakukan secara terburu-buru, namun bertahap dan tentu melalui sejumlah pertimbangan yang masak-masak.


             DAFTAR PUSTAKA

A. Kelompok Tafsir dan Ilmu Tafsir

Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Semarang : Toha Putera, t.t.
Al-Alusi, Abu al-Fadl Syihab ad-Din, Ruh al-Ma‘ani fi Tafsir al-Qur’an al-    ‘Azim wa Sab‘ al-Masani, Bairut : Dar al-Fikr, 1414/1993, Juz V.
Al-Andalusi, Abu Hayyan, Tafsir al-Bahr al-Muhit, Cet. I, Bairut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,m 1413/1993, Jilid III.
Al-‘Arabi, Ibnu, Ahkam al-Qur’an, Bairut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1416/ 1996. Jilid I.
Al-Bagawi, Ma‘alim at-Tanzil, Bairut: Dar al-Fikr, 1404/1985.
Al-Baidawi, Abdullah bin Umar bin Muhammad, Anwar at-Tanzil wa Asar at-Ta’wil, Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuhu, 1939.
HAMKA, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, Juz V.
Al-Harrasi, al-Kiyya, Ahkam al-Qur’an, Bairut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1405/1985.
Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir, Asrar at-Tafasir li al-Kalam al-‘Aliy al-Kabir, Cet. I,  Madinah : Matba‘ah al-‘Ulum wa al-Hikam, 1415/1995.
Al-Maragi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maragi, Cet. IV, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuhu, 1389/1969.
Al-Mawardi, Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib, Tafsir an-Nukat wa al-‘Uyun Tafsir al-Mawardi, Bairut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.
Al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin, Tafsir al-Qasimi al-Musamma Mahasin at-Ta’wil, Bairut : Dar al-Fikr, 1398/1978.
Al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, tnp.: ttp., t.t., Juz V.
Rida, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar, Cet. II, Bairut : Dar al-Fikr, 1393/ 1973.
As-Sabuni, Muhammad Ali, Safwat at-Tafasir, Lebanon : Dar al-Fikr, t.t.
_______________________, Tafsir Ayat al-Ahkam, ttp. : Dar al-Qur’am al-Karim, 1972.
Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, Bairut : Dar al-Fikr, 1403/ 1983.
As-Suyuti, Jalaluddin Abdur Rahman, ad-Dur al-Mansur Fi at-Tafsir bi al-Ma’sur, Cet. I, Bairut : Dar al-Fikr,1403/1983.
At-Tabari, Abu Ja`far bin Jarir, Jami‘ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an, Bairut : Dar al-Fikr, 1415/1995.
Az-Zuhaili, Wahbah, at-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj, Bairut : Dar al-fikr, 1411/1991.

B. Kelompok Hadis dan Ilmu Hadis

‘Abadi, Muhammad Syams al-Haqq, ‘Aun al-Ma‘bud Syarh Sunan Abu Dawud, Bairut : Dar al-Fikr, 1399/1979.
Al-Bagawi, Abu Muhammad al-Husain ibn Mas‘ud, Syarh as-Sunnah, tahqiq Syaikh Ali Muhammad Mu‘awwid, Cet. I, Bairut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1412/1992.
Al-Mubarakfuri, Abdur Rahman bin Abdur Rahim Muhammad, Tuhfah al-Ahwazi Syarh Jami’ at-Turmidzi, Bairut : Matba’ah Dar al-Ma’rifah, 1384/1964.
As-San‘ani, Muhammad bin Isma‘il al-Kahlani, Subul as-Salam, Bandung : Maktabah Dahlan, T.Th.
At-Tabrizi, Misykat al-Masabih, tahqiq Sa id Muhammad al-Liham, Cet. I, Bairut: Dar al-Fikr, 1991.

C. Kelompok Fiqih dan Hukum Islam


Ahmed, KN., Muslim Law of Divorce, New Delhi: Kitab Bhavan, 1981.
Fyzee, AA. Asaf, Out Lines of Muhammadan Law, Delhi : Oxford University Press, 1974.
Al-Ghazali, Muhammad bin Muhammad, al-Wasit fi al-Mazhab, Tahqiq  Ahmad Mahmud Ibrahim, Cet. I, ttp.: Dar as-Salam, 1417/1997.
Hazm, Ibnu, al-Muhalla, Bairut : Dar al-Fikr, t.t.
Al-Jaziri, Abdurrahman, Kitab al-Fiqhi ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Mesir: Maktabah at-Tijarah al-Kubra, 1969)
Hoseini, Ziba Mir, Marriage on Trial; A Study of Islamic Family Law, ( London: IB Taris, 1993)
Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (Semarang: Toha Putera, 1995)
Jawaad, Haifa A., The Rights of Women in Islam; an Authentic Approach, Cet. I, London: Mazmillan Press Ltd., 1998.
Al-Kasani, Kitab Badai’ ash-Sanai’ fi Tartib asy-Syarai’, Cet. I, Bairut : Dar al-Fikr, 1417/1996.
Al-Khumasi, Ahmad, at-Ta’liq ‘Ala Qanun al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, Cet. III, ttp. : Dar an-Nasyr al-Ma’rifah, t.t.
Al-Khuts, Muhammad Usman, al-Masyakil az-Zaujiyyah wa Hilluha fi Dau’ al-Qur’an wa as-Sunnah wa al-Ma‘arif al-Hadisah, Kairo: Maktab al-Qur’an, t.t.
Mahmood, Tahir, Family law Reform in The Muslim World, Bombay : NM. Tripath PVT Ltd, t.t.
Al-Mawardi, Abu Hasan Ali, al-Hawi al-Kabir, Tahqiq Mahmud Mutraji, Bairut ; Dar al-Fikr, 1414/1995.
An-Nawawi, Muhyiddin bin Syarf, al-Majmu‘ Syarh al-Muhazzab, Bairut : Dar al-Fikr, 1415/1995.
Sabiq, as-Sayyid, Fiqh as-Sunnah, ( Bairut : Dar al-Fikr, 1983), Jilid I,II, III
Zahrah, Muhammad Abu, al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, T.Tp: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
Az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Bairut : Dar al-Fikr, 1405/1985.

D. Kelompok Kamus dan Ensiklopedi UU.

Abadi, al-Fairuz, al-Qamus al-Muhit, Bairut : Dar al-Fikr, 1415/1995.
Abdul Baqi, Muhammad Fu’ad, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim, Bairut : Dar al-Fikr, 1987.
Al-Abyari, Ibrahim, al-Mausu‘ah al-Qur’aniyyah, Kairo : Matabi‘ Sijjil al-‘Arab, 1405/1985.
Al-Isfahani, ar-Ragib, Mu‘jam Mufradat Alfaz al-Qur’an, Bairut : Dar al-Fikr, t.t.
__________________, Mufradat fi Garib al-Qur’an, Ed., Muhamad Sayyid Kailani, Mesir : Mustafa al Babi wa al-Halabi, t.t.
Anis, Ibrahim, (et.al), al-Mu’jam al-Wasit, Cet. II, ttp.: tnp., 1972. Juz II.
Esposito, John L., The Oxford  Encyclopedia of The Modern Islamic World, New York: Oxford University Press, 1995.
Faris, Ibnu, al-Mu‘jam al-Maqayis al-Lugah, Cet. I, Bairut : Dar al-Fikr, 1415/1994.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, PP. No. 9 Tahun 1975, PP. No. 10 Tahun 1983, PP. No. 45 Tahun 1990, Surabaya: Arkola , tt.

                                                            




[1] Periksa QS an-Nisa' (4) ayat 128.
[2] Lihat QS an-Nisa' (4) ayat 34.
[3] Lihat QS an-Nisa' (4) ayat 35.
[4] Periksa pernyataan ini dalam al-Mawardi,  Al-Hawi al-Kabir, Tahqiq, DR Muhammad Muthraji, (Bairut: Dar al-Fikr, 1414/1994), Juz XII, hlm.  239.

[5] Lihat syarat-syarat wajibnya nafkah bagi suami terhadap isterinya dalam as-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, ( Bairut : Dar al-Fikr, 1983),  II: 148. Bandingkan juga dengan an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, (Bairut: Dar al-Fikr, 1415/1995),  Juz XVIII, hlm. 123. Di antara ayat yang berisi kewajiban suami memberi nafkah isteri  periksa QS al-Baqarah (2) : 233, at-Thalaq ( 65 ) : 6.

[6] Periksa ‘Abdullah bin Syaikh Hasan al-Hasan al-Bakuhaji, Zad al-Muhtaj Syarh al-Minhaj, (Bairut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, T.Th), Juz III, hlm. 331.

[7] Al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir,  Juz XII, hlm.  238. As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz II : 148. Kewajiban  menyediakan tempat tinggal baca QS. Ath-Thalaq (65) : 6.
" Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya."

[8] Perintah al-Qur’an agar mempergauli isteri secara baik baca QS an-Nisa’ (4) : 19.
" Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak"

[9]  An-Nawawi, al-Majmu’…., Juz XVIII, hlm. 129.
[10] Ibnu Faris, Al-Mu’jam al-Maqayis fi al-Lughah, Cet. I, (Bairut: Dar al-Fikr, 1415/1994), hlm. 277.

[11] Ibrahim Anis dkk., Al-Mu’jam al-Wasith, Cet. II, (T.Tp.: T.Np, 1972), Juz I, hlm. 190.

[12] Periksa Ar-Ragib al-Isfahani, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an, (Bairut: Dar al-Fikr, T.Th), hlm. 126.

[13] Deeb al-Khudhrami, A Dictionary of Islamic Terms, Cet. I, (Bairut: al-Yamamah 1416/1995), hlm. 103. Attabik Ali mengartikan hakam dengan wasit, penengah dan hakim. Lihat Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Cet. III,  (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1998), hlm. 786.
[14] Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsir Bahr al-Muhit, Jilid III, hlm. 253.

[15] Al-Qasimi, Mahasin at-Ta’wil, Jilid III, hlm. 35.

[16] Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Juz V, hlm. 39.

[17] Al-Wahidi, Al-Wasit fi Tafsir al-Qur’an al- Majid, Cet. I, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415’1995), Jilid II, hlm. 47.

[18] Lihat Wahbah az-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Cet. III, ( Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), Juz VII, hlm. 528. Sebagai perbandingan syarat yang diajukan al-Qurtubi lihat, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz V, hlm. 175.

[19] Lihat kembali al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Juz XII, hlm. 249.

[20] Lihat Shaleh Ghanim,  Jika Suami Isteri Berselisih Bagaimana Mengatasinya ?, Cet. I (Jakarta: Gema Insani Pres, 1998), hlm. 38-39.

[21] Ibnu Rusyd menyatakan hukum mengutus dua hakam adalah jawaz dan beliau menyebut sebagai sebuah kesepakatan diantara para ulama, Lihat Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, (Semarang : Toha Putera, T.Th.), Juz II, hlm. 79.

[22] Periksa Ali as-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz II, hlm. 100.

[23] Lihat kembali tafsirnya Tafsir al-Munir, Juz V, hlm. 79.

[24] Al-Wahidi, al-Wasit…, Jilid II, hlm. 47.

[25] Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz X,hlm. 96.

[26] Periksa penjelasan berbagai ulama tafsir dalam hal ini seperti Ibnul ‘Arabi, Ahkam al-Qur’an, Jilid I: 542, Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, X: 96 dst. Al-Jashshas, Ahkam al-Qur’an, II: 269. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, V: 77 dst. Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, V: 29 dst. Al-Qasimi, Mahasin at-Ta’wil, III: 135. At-Tabari, Jami’ al-Bayan, V: 100 dst.as-Suyuthi, Ad-Dur al-Mansur, II: 525.

[27] Lihat kembali Abu Hayyan, Tafsir Bahr al-Muhit, Jilid III, hlm. 253.

[28] Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Azim, Jilid I, hlm. 467.
[29] Ibid. Uraian asy-Syaukani dalam soal ini baca, Fath al-Qadir, (Bairut: Dar al-Fikr, 1403/1983), Jilid I, hlm. 463.

[30] Yang penulis maksud dengan jumhur adalah jumhur ulama mufassirin seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya. Karena menurut ulama madzhab fiqih, hanya madzhab Maliki saja yang terang-terang membolehkan perceraian dengan alasan syiqaq dan dharar.
[31] QS. An-Nur  ( 24  ) : 32

[32] Al-Qurtubi,  al-Jami’ …, Juz V, hlm. 408.
[33] Wahbah az-Zuhaily, Tafsir al-Munir…, Juz V, hlm. 303.

[34] Ibid.
[35] Periksa keterangan ini dalam Alauddin Kharufa, Syarh Qanun al-Akhwal asy-Syahsiyyah, (Baghdad: Matba’ah al-Ma’arif, 1383/ 1963), Juz II, hlm. 392.
[36] Ibid., hlm. 31. Bandingkan dengan as-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Bairut: Dar al-Fikr, 1404’/1983), Juz II, hlm. 248-49. Pendapat yang kurang lebih sama juga menjadi pendapat madzhab Hanbali. Baca juga penjelasan Muhammad AbuZahrah, Al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, (T.Tp: Dar al-Fikr al-‘Arabi, T.Th), hlm. 423-27.
[37] Alauddin Kharufa, Syarh Qanun…., hlm. 30.

[38] Lihat Wahbah az-Zuhali,  al-Fiqh al-Iskami wa Adillatuhu, Juz VII, hlm. 527.
[39] Undang-Undang Perkawinan, ( Surabaya : Arkola, tt), hlm. 37-38.