ASSALAMU'ALAIKUM....

SUGENG RAWUH...

Wednesday, October 27, 2010

Nikah Beda Agama; Manfaat dan Madharat*

 Oleh : Ali Trigiyatno,M.Ag


Kompilasi Hukum Islam yang ditetapkan melalui Kepres No 1 Tahun 1991 ternyata sebagian ajarannya sudah ‘basi’, demikian kira-kira anggapan pihak yang ingin merombak sejumlah pasal dalam KHI untuk ‘disesuaikan’ dengan semangat masyarakat modern dengan cirinya yang menjunjung tinggi asas pluralisme, kesetaraan gender (gender equality), keadilan (justice), persamaan (equality), demokrasi dan civil society.[1] Di antara hal-hal yang diusulkan untuk dirubah adalah ketentuan KHI tentang poligami, perwalian bagi wanita, saksi bagi wanita, pemberian mahar, kawin kontrak, sakralitas perkawinan, batas usia kawin dll.[2]
Salah satu persoalan yang diusulkan untuk dirubah adalah ketentuan KHI yang melarang pernikahan antar agama (interfaith marriages). Menurut kelompok ini, larangan pernikahan antar agama tidak sejalan dengan asas pluralisme, sehingga  perlu dirombak dan disesuaikan dengan jalan menghapus larangan pernikahan antar agama. Denagn kata lain nikah antar agama tidak perlu dilarang atau dihalang-halangi karena ia bagian dari peradaban manusia modern. Isu inilah yang akan menjadi sorotan makalah ini.

Tinjauan Hukum Islam

Pernikahan antar agama yang dimaksud di sini adalah pernikahan antara pria atau wanita Islam dengan pria atau wanita non Islam. Untuk lebih jelasnya perlu dibedakan antara :
1.      Pernikahan pria muslim dengan wanita musyrikah (unbelieving women)
2.      Pernikahan antar pria muslim dengan wanita Ahlul Kitab (the people of the book)
3.      Pernikahan antara wanita muslimah dengan pria non muslim.
Untuk pernikahan jenis pertama jelas terlarang (unlawful) berdasar surat al-Baqarah ayat 221: “Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman. Sungguh wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik walau dia menarik bagimu.” Ibnu Jarir at-Thabari dan Muhammad Abduh berpendapat wanita musyrik yang terlarang dinikahi hanya mencakup wanita musyrik Arab saja, tidak mencakup pemeluk agama (wanita musyrik) lain.[3]  Namun mayoritas ulama berpendapat wanita musyrik mencakup semua musyrikah baik Arab maupun non Arab selain ahl kitab terlarang untuk dinikahi.[4]
Untuk jenis kedua jumhur ulama membolehkan pria muslim menikahi wanita ahlul kitab[5] yang muhshanat berdasar ayat 5 surat al-Maidah: “…dan dihalalkan  mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu.” Disamping itu, praktek sebagian sahabat juga menunjukkan kebolehan seperti yang dilakukan oleh Huzaifah yang menikahi wanita Yahudi tanpa ditentang sahabat lainnya.[6] Sementara ulama yang lain tetap melarang pernikahan ini seperti Ibnu Umar dan golongan Syi’ah Imamiyah. ”[7] Sementara Umar diriwayatkan menerapkan kebijakan melarang pria muslim menikahi wanita ahl kitab dengan berbagai pertimbangan.[8]
Sedang pernikahan jenis ketiga para ulama sepakat untuk melarangnya berdasar pada QS al-Baqarah ayat 221, “ dan janganlah kamu menikahkan  orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukminat sebelum mereka beriman. Sungguh budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walau ia menarik bagimu.”[9] Juga larangan itu tersurat dalam surat al-Mumtahanah ayat 10 yang potongannya berarti”… mereka tiada halal bagi laki-laki kafir itu, dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka…”.
Di Indonesia, MUI lewat fatwa nomor 05/Kep/Munas II/MUI/ 1986 menyatakan :
1.                        Perkawinan wanita muslim dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya.
2.                        Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslim.
Tinjauan Hukum Positif
Aturan hukum positif yang tegas-tegas melarang adanya pernikahan antar agama adalah KHI pasal 40 yang berbunyi : “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu : pada poin c tertulis,           “ seorang wanita yang tidak beragama Islam” juga pasal 44,” Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan pria yang tidak beragama Islam.”[10]
Selain itu patut diperhatikan juga pasal  2 UUP Nomor 1 Tahun 1974 ayat 1 yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Menurut hukum Islam tidak dibenarkan seorang yang berbeda agama melangsungkan perkawinan. Dengan demikian  pernikahan antar agama tidak bisa dibenarkan  dan tidak memnuhi ketetntuan ajaran agamanya karena ia termasuk suatu bentuk halangan perkawinan.”[11]
Sungguhpun demikian dalam praktek ternyata aturan pernikahan disikapi secara beragam oleh aparat hukum kita. Ada yang menolak mencatat pernikahan tersebut namun ada juga yang menerima karena dianggap aturan dalam UUP kurang tegas dan jelas mengatur pernikahan antar agama.
Manfaat-Madharat
Kalau kita perhatikan dengan seksama, tidak ada suatu perbuatan yang semata-mata membawa manfaat atau madharat. Pasti akan selalu beriringan adanya manfaat dan madharat termasuk di dalam semua persoalan pernikahan antar agama. Namun sebagai pedoman, jika madharatnya lebih besar daripada manfaatnya dapat dihukumi haram.
Bahwa nikah beda agama ada manfaatnya memang harus diakui seperti dekat ke paham pluralisme yang banyak dituntut dalam komunitas masyarakat modern, solusi alternatif bagi dua insan yang sudah tidak bisa dipisahkan walau beda agama, bisa sebagai lahan dakwah, mempererat hubungan keluarga, bangsa, negara dll.
Namun madharat yang dapat timbul diantaranya sulit mencapai ketenangan, mudah timbul problem keluarga, sulit menyatu, anak jadi korban orang tua dalam aqidah. Pendek kata keluarga yang antara anggota keluarganya berbeda keyakinan lebih sulit dalam merealisasikan tujuan hidup berumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, penuh kedamaian, ketenangan dan kebahagiaan abadi, itu jika masing-masing bersikukuh dengan keyakinan masing-masing.
Namun jika salah satu pihak mengalah dengan pindah agama mengikuti pasangannya, jika yang murtad itu dari Islam maka sungguh ini sebuah kejadian yang patut disesalkan.[12]
Langkah Preventif
Alangkah baiknya sepasang muda-mudi sebelum jatuh cinta dan cintanya semakin lekat untuk terlebih dahulu memperhatikan faktor keyakinan atau agamanya. Jika anda baru sebatas tertarik atau berkenalan dengan pria atau wanita non muslim maka sadarlah akan resiko jika hubungan itu terus berlanjut. Jika terlanjur mencintainya maka berusahalah untuk menetralisirnya jika perlu melupakannya. Jika tidak dapat, pastikan anda dapat ‘menaklukkannya’ dengan menariknya ke agama anda walau inipun masih beresiko jika ia nanti murtad lagi.
Jalan yang lebih selamat
Untuk keselamatan anda, tentu kita harus menikah dengan pria atau wanita seiman dan seakidah, apalagi di negara kita sangat mudah mendapatkan jodoh yang seiman mengapa harus melirik atau menikahi orang yang berbeda agama. Cinta bukan segala-galanya. Cinta yang sejati adalah milik dan untuk Allah semata bukan untuk makhluk apalagi yang berbeda keyakinan. Semakin banyak kesamaan akan semakin memudahkan menyatukan langkah dan tujuan dalam menuju bahtera keluarga yang damai, tenang dan bahagian lahir dan batin.
Peringatan
Dalam persoalan nikah antar agama, Islam bersikap keras dan tegas dengan melarangnya, tidak demikian dengan agama Kristen. Demi misi dakwahnya mereka tak segan-segan menganjurkan pemudanya untuk menikahi muslimah dan pemudinya untuk menarik pria muslim yang dikemudian hari akan kelihatan maksud sebenarnya dari pernikahan itu. Karena ini termasuk salah satu srategi kristenisasi yang dijalankan di Indonesia, maka kita perlu hati-hati dan waspada.
Catatan Akhir
-                     Pernikahan antar agama adalah terlarang baik menurut hukum Islam maupun hukum positif di Indonesia.
-                     Seharusnya setiap pemuda/pemudi Islam untuk mencari jodoh dari yang sekeyakinan dan seakidah.
-                     Pernikahan antar agama memang ada manfaatnya, namun madharatnya jelas lebih besar, maka dari itu sudah sepantasnya dilarang.
-                     Pernikahan antar agama dapat dimanfaatkan agama tertentu untuk misi dakwah agamanya.
Demikianlah sedikit ulasan tentang status perkawinan antar agama yang pada dasarnya Islam tidak dapat membenarkannya. Maka dari itu sudah seharusnya pemuda dan pemudi Islam hanya menikah dengan pasangan yang seagama.







DAFTAR PUSTAKA

 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Cet. IV, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 348.

Fakhrudin ar-Razi, Tafsir al-Kabir, III: 363.

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 287 dst.

Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, Cet. X, (Jakarta: Gunung Agung, 1997)

Muh Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Bairut: Dar al-Fikr, 1973)

Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Cet XII, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 347 dst.

Lutfi Assyaukani, Politik HAM, dan Isu-Isu Teknologi dalam Fiqih Kontemporer, Cet. I, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998)

Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Tafsir Tematik al-Qur’an Tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka SM, 2000).

Nashruddin Baidan, Tafsir Maudhu’I, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)

Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa adillatuhu,  (Bairut : Dar al-Fikr, 1989), VII: 152.




* Didiskusikan dan dipresentasikan pada hari Senin 1 Nopember 2004 pada Kajian Bulanan UKM SIGMA STAIN Pekalongan di STAIN Pekalongan.

[1] Saat ini ada usulan dari sebuah team yang dipimpin Siti Musdah Mulia dari  Pengarus Utamaan Gender Departemen Agama yang disponsori yayasan Asia Foundation untuk membuat RUU KHI yang baru versi tandingan yang diberi title Contra Legal Draft KHI. Pasal-pasal yang diusulkan oleh team inilah yang menuai kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Bahkan Mantan Menag Said Agil Husein al-Munawwar sendiri wanti-wanti agar draft itu tidak disosialisasikan. Baca Tempo, 25-31 Oktober 2004.

[2] Periksa lebih jauh materi apa saja yang dianggap perlu diamandemen dalam Jakarta Post, 5 Oktober 2004
[3] Muh Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Cairo; Dar al-Manar, 1367), Vol VI: 187-188, 190, 193.

[4] Masjfuk Yuhdi, Masail Fiqhiyah, Cet. X, (Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997), hlm. 5.

[5] Penjelasan yang agak lengkap baca Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Cet XII, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 347 dst.
[6] Menarik untuk dikemukakan juga pendapat Atha’ bahwa kebolehan mengawini perempuan ahlul kitab hanya sebagai rukhsah di zaman Rasul dan waktu sebentar sesudahnya karena wanita Islam masih sedikit. Setelah itu rukhsah dicabut. Baca  Fakhrudin ar-Razi, Tafsir al-Kabir, III: 363.

[7] Penjelasan yang agak memadai baca Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 287 dst.

[8]Ibid., hlm. 289.

[9] Lebih jauh periksa Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa adillatuhu,  (Bairut : Dar al-Fikr, 1989), VII: 152
[10] Disamping ketentuan dalam KHI ini, larangan pernikahan antara agama juga dikeluarkan melalui surat edaran MA, fatwa MUI dan juga fatwa Majlis Tarjih Muhammadiyah. Lihat Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Tafsir Tematik al-Qur’an Tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka SM, 2000), hlm. 29 dan 219.

[11]  Lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Cet. IV, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 348
[12] Baca juga tulisan Nashruddin Baidan, Tafsir Maudhui bab Perkawinan Campuran, Cet I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 23-44.

No comments:

Post a Comment